14 des 2010
Kini ku kembali berjalan. Tak peduli hambatan yang menerpa sedari awal. Kini kembali ku telusuri semak yang tajam. Bukit yang curam. Demi mencari sebongkah hati yang kunjung hilang.. dan disinilah aku bermulai..
Rintang pohon dan dedaunan. Menghembuskan bau basah angin tengah desember. Kicau burung masih melanglang. Mengiringi langkahku di kejauhan. Sesaat begitu jenaka. Menggoda mata yang melihatnya. Semakin tegap ku berjalan diatas keirianku..
Sesaat berlalu, semua berubah seperti kota mati. Angin semakin menggebu. Meruntuhkan ketegaran ranting–ranting pohon yang mulai berjatuhan. Daun-daun berguguran. Tajamnya mulai menusuk dinding pertahanan kulit pembungkus raga yang lemah. Lemah. Bukan lelah. Membangunkan bulu roma yang manja. Bergetar ku dibuatnya. Juga kakiku. Kakiku. Kakiku.
Kontradiksi yang semakin menjadi. Langit temaram kembali menghantui. Tak ada lagi kicau burung. Tak ada lagi pedesaan. Tak ada lagi angin sepoy-sepoy yang jinak. Tak ada lagi jenaka. Bahkan tentu tidak dengan hatiku. Disinikah ku menemui kenyamanan? Ketenangan? Jika keindahan tak menyembuhkan lukaku. Mungkin kesakitan akan mampu.. dan disinilah aku ada.. disamping angin yang bergelora.
Pemandangan yang cukup indah..
Dua ibu dan tiga bocah kecil. Ibu berjilbab. Bocah lelaki bertopi. Ibu bertopi. Sepasang anak beringus. Mengoperasikan tangannya yang kasar di tempat sampah. Ya. TEMPAT SAMPAH. Bahasa daerah yang kental. Baju yang kumal. Tawa yang lepas. Tawa yang lepas. Tawa yang lepas. Itu yang ku tak punya. Semua tak lantas membuatku tersenyum. Tidak bahkan untuk menangis. Aku ini apa? Siapa?
Tak ku hirau perut kiriku yang kembali meronta. Bahkan rongga di atasnya yang semakin sesak. Kaki yang bergetar. Mata yang kacau. Napas yang tersengal.
Gerimis mulai mengundang. Menciptakan titik-titik di kacamataku juga jalan yang berdebu. Meniupkan kebekuan rasa. Asa. Tapi tak jua ku tutup mata. Aku berjalan.. gontai.. di samping angin yang bergelora.
Hujan menepis resah mendatang basah. Menghela napas dan embusan angin yang bersenyawa menggelora. Detak dada, hentak langkah kaki membahana. Berlari, menembus dan menepi.
Kau tak perlu kaki yang kuat untuk berjalan. Kau hanya perlu keyakinan atas kakimu. Berjalanlah sayang. Berjalan bila kau ingin. Berlari bila kau mau. Yang mereka sebut batas itu palsu. Tak ada yang tahu batas tubuhmu. Batas keinginanmu. Batas sakitmu. Batas kakimu berjalan. Bahkan tidak dirimu sendiri. Yang perlu kau tahu hanyalah kau yakin atas tubuhmu. Dan kau ingin. Kau yakin pada kakimu. Dan kau ingin. Kau yakin pada hatimu. Dan kau ingin. Kau yakin pada keinginanmu. Dan kau ingin. Kau menginginkannya. Kau meyakini keinginanmu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar