Namaku Nella Fitrah Alami. Lisda Sa’adillah Mursyidah, Dinni Maura Azimuth Azure, dan Jaspi Lexi Nathael adalah temanku. Aku hendak menceritakan segenggam cerita kehidupanku dan gejolak diantara mereka.
Pantulan warna pelangi dari kacamata Dinni merekah di sudut mataku. Entah keajaiban apa lagi yang sedang ia pikirkan. Kadang-kadang aku cemburu tiap kali Jaspi terpesona mendengar Teori Zero Point Energy atau Teori Superstring yang Dinni lantunkan. Bagaimana pun, Dinni itu cerdas dan aku mengaguminya.
Lisda ini shaleha favorit lelaki. Mutiara yang terdampar di padang jerami. Satu hal yang membutakanku, bulu matanya. Selain rona parasnya, tubuhnya yang aduhai, dan jilbabnya yang yang selalu terjuntai melindungi kulitnya yang mulus, semua tentangnya, keindahan yang sulit didustai.
Jaspi. Tampan. Begitu memesonakanku. Hanya itu yang ku tahu.
*****
September 2010, saat rintik-rintik hujan gemar datang, saat kami mampu mencium bau basah rerumputan, saat peluh beradu angin yang beku, kami dipertemukan di satu pagi yang mendung. Saat itu kami tahu disitulah takdir kami. Hingga akhirnya aku tak perlu khawatir dengan tugas kuliah, dengan keajaiban Al-Qur’an, dengan nafsu yang bergejolak dalam dada yang tak terkira. Teman-temanku ini istimewa, setidaknya sebelum kami benar-benar tak sejalan.
Aku tahu ini tak baik. Aku senang kala Jaspi selalu mengirimiku SMS, aku gembira melihat senyumnya yang dahsyat manis, aku bergetar saat ia duduk disampingku, saat ia mengelus pucuk jilbabku dengan terkekeh, saat ia memberitahuku bagaimana DNA berreplikasi, saat ia mengantarku pulang, saat ia mengecup keningku, aku terbang. Aku selalu melambung, selalu bisu, selalu tuli, bahkan buta. Satu hal yang tak aku senangi. Ketika emosinya meninggi menghadapi keatheisan Dinni. Doktrin orang tua yang selalu ia gemborkan, kelogisannya yang selalu ia perjuangkan, argumenya yang menggema mengalahkan suara lembut Lisda menasehati Dinni dengan Al-qur’an. Kalau sudah begitu Dinni akan pergi menyendiri, Lisda akan mengerutkan kening prihatin, Jaspi akan memarahi dirinya sendiri, kadang membanting kursi atau meja, atau juga ia mengecup kalung salibnya. Ya, Jaspi, pacarku, seorang nasrani. Seketika aku mematung. Gamang. Saat kejadian seperti ini terulang, aku mengikuti kemana Dinni pergi.
“Minum Din!”
“Makasih Nel”, kami akan terdiam beberapa saat, meneguk Mizone dalam beberapa selang waktu. Kemudian Dinni akan bercerita tentang keraguannya, mempertanyakan tuhannya, menganalogikannya dengan balita, dan aku harus tidak mendengar kekonyolan yang ia bisikkan meskipun telingaku terbuka lebar. Sekilas, pikirannya begitu pintar untuk mengartikan tuhan dan agama, tapi keyakinanku mengatakan ia keliru. Hanya saja, apa yang kulihat, sosok jenius didepanku, sahabatku, hanya butuh rasa nyaman. Perlindungan. Didengarkan.
Aku sudah mengira hari seperti itu akan ada. Tapi aku tak pernah menyangka hendak serumit dan sepelik ini. Hari itu Jaspi mondar-mandir di pojok belakang kelas dengan gundah. Aku menghampirinya seperti biasa, “sayang, kamu kenapa?”
“Nel, kamu sendiri? Tak bersama Dinni? Kamu harus membaca ini!” sela Lisda lembut sembari menyodorkanku sehelai kertas kusut.
Aku bukan seorang atheis. Aku percaya dan yakin akan adanya Tuhan. Hanya saja tentang siapa dan yang mana Dia yang masih belum aku pahami. Kenapa ada banyak agama dengan banyak keyakinan yang baik dengan sengaja atau tidak telah dibuat? membagi dan membingungkan.
Tuhanku ya Tuhan. Aku tidak memerlukan sebuah agama dan memeluknya untuk mengetahui identitas Tuhan. Aku hanya perlu mengetahui Tuhan itu harus seperti apa dan aku meyakininya. Tapi kenapa banyak diantara manusia memilih? Apa agama mereka?
Hmh, a-gama. Tidak kacau? Bukankah agama yang telah membuat peradaban manusia semakin kacau? Awalnya, animisme, dinamisme yang bukan merupakan agama tidak begitu dipermasalahkan. Tapi semenjak adanya Islam, Kristen, Budha, Hindu, atau apalah lainnya, bentrok antara siapa yang paling misionaris akhirnya terjadi. Itu jelas bermasalah. Berusaha mempertahankan dan mengembangkan agamanya masing-masing dengan mencari pengikut sebanyak-banyaknya.
Agama itu seharusnya tidak ada. Agama itu pembunuh.
Yeah, Galileo salah satunya. Dia dibunuh oleh orang-orang gereja karena teorinya yang bertentangan dengan paham gereja yang didapat dari Plato, seorang manusia sama halnya dengan Galileo. Tidakkah mereka paham dengan perkembangan, perubahan, dan bukti? Geosentris dan Heliosentris. Ayolah, itu hanya teori, jika kalian percaya dengan Tuhan, seharusnya kalian biarkan saja. Toh Tuhan tidak mempermasalahkan teori mana yang benar. Hanya Tuhan yang tahu bukan? Itu kuasa Tuhan yang nantinya akan kita ketahui. Nanti. Entah kapannya itu. Sama halnya dengan teori bagaimana dunia ini terbentuk. Kenapa harus ada yang terbunuh? Agama telah membuat kesalahan.
“Tulisan Dinni kan? Kenapa?”
“Bek, kamu kok ga kaget? Kamu menerima apa yang ia tulis? Jangan bilang kalau kamu sudah mengetahui ini sejak lama dan kamu tidak pernah memberitahu kita,” Jaspi menghimpitku dengan terengah,”jawab Nella!” bentaknya.
“I i iya. Aku hanya tak mau ia semakin keras. Aku hanya mampu mendengarkan,” saat itu aku hanya bisa tertunduk terbata. Jaspi begitu menyeramkan. Orang-orang tak akan memercayai bahwa ia terbiasa sangat manis. Aku ketakutan.
“Jaspi!” Lisda menariknya menjauh dariku. “Tapi kamu seharusnya tidak membiarkan pikirannya tersesat sejauh ini, Nel. Kamu harusnya lebih tahu apa yang bisa kamu lakukan padanya jika kau menyayanginya,” Lisda memegang pundakku dan bertutur lembut seperti biasa. Aku ingin sekali berkata bahwa dalam praktiknya siapa pun takkan bisa menembus Dinni. Hanya hatinya sendiri yang mampu melunakkannya. Tapi keberanian tak pernah bersahabat denganku. Dinni muncul dan menghampiri kami. Ia memakai kemeja ketat lengan pendek dan jeans warna senada.
“Akhirnya, anak sok genius ini datang juga. Aku ingin penjelasanmu, bagaimana kau bisa menulisnya?” Jaspi tak pernah tahu cara mengontrol emosinya.
“Bukan urusanmu. Kamu hanya kesal kan aku menulis kata gereja disitu?”
“Apa? Kau ini..”
”Jaspi!”, Lisda dapat dengan cepat mencengkeram tangan Jaspi yang hendak menampar Dinni, sementara aku, menegurnya pun tak pernah mampu. “Kamu menyalahkan agama. Itu yang salah. Kamu pernah membaca Al-kitab? Semua kamu kaji, bukan? Kami rasa kamu kurang tepat, argumenmu.”, Lisda menatap Dinni lekat.
“Agama itu hakekatnya ada dari Tuhan. Bukan dari atau bentukan manusia. Manusia mengetahui adanya Islam, Kristen, Budha ataupun Hindu itu karena mereka mendapat pesan atau apa yang bisa kita sebut firman dari Tuhan, petunjuk. Kau menekankan dirimu percaya dan yakin dengan Tuhan, seharusnya kau tau apa saja yang kiranya menyertai Tuhan dan agama adalah salah satunya. Kamu salah jika beranggapan kita tidak memerlukan identitas Tuhan”, Jaspi kehilangan arah bicaranya. Ia meluapkan apa pun yang melintas pikirannya. Seharusnya mereka tidak seaktif ini. Seharusnya Dinni langsung pergi saja. Seharusnya aku tak hanya diam.
”Ya. Kita sangat memerlukannya, semua orang tahu itu, dan itu adalah alasan mengapa kita memilih agama.” timpal Lisda menengahi, meredam emosi yang kentara. “Ajaran yang kami tahu itu adalah ajaran Tuhan dan itu berdasarkan agama yang kami anut. Aku ingin mendapatkan kebaikan jika kau menanyakan apa yang ingin aku dapat dari semua itu. Jadi apa yang terlihat meragukan?” tambahnya tetap tenang, menutupi kebimbangannya.
”Kau bermaksud itu surga? Memang apa masalahnya dengan neraka? Dasar keyakinanmu itu jelas tak bisa dipertanggungjawabkan,” kami tersentak.
”Pertanyaanmu itu yang jelas tidak berdasar!” Jaspi meluap. ”Ya jelas masalah lah, itu pilihan kita. Surga dan neraka itu pilihan antara kenikmatan atau kesengsaraan kekal yang akan kita dapat nanti. Kau pikir kau mengetahui adanya surga dan neraka itu dari mana? Manusia tidak akan mengetahui hal itu sampai seseorang yang terpilih memberitakannya. Kau meminta pertanggungjawaban dari apa yang belum kau pilih? Seharusnya sekarang kau mengerti letak kesalahanmu dimana,” suaranya membahana, mata sipitnya melebar nanar. Amarah berkecamuk.
”Aku tidak menginginkannya.”
”Tapi pilihan itu selalu ada. Apa yang kau inginkan?”
”Mati.”
Lisda tidak kaget dengan jawaban itu. Dia menggelengkan kepalanya, menatap Dinni iba. Prihatin. Tapi, baru kali ini aku melihat Jaspi hampir menangis.
”Lalu apa yang kau mau?”
”Mati. Cukup mati. Aku hidup untuk mati. Kenapa menanyakan hal itu?” Dinni berteriak. Air mata mulai meluncur di kedua belah pipinya. ”Tuhan membuatku hidup, Tuhan juga yang mematikanku, soal neraka dan surga ya itu Tuhan juga yang menentukan,” lanjutnya dalam isak.
”Dinni, Tuhan bukan seorang balita yang sedang memainkan bonekanya. Dia memberikan kita kehidupan dan memiliki massa, akal, serta hati itu kamu kira untuk apa? Untuk mengusahakan diri kan? Surga dan neraka itu pilihan. Ada pilihan ada syarat. Syarat itulah yang ditentukan Tuhan,” aku tak mengira aku bisa mengatakannya. Aku menangis.
”Mengusahakan diri? Untuk dan atas apa? Dengar, kebaikan dan ketidakbaikan itu milik siapa? Tuhan. Yang menciptakan manusia itu siapa? Tuhan. Manusia itu berwatak itu karena siapa? Tuhan. Manusia berperilaku baik atau tidak itu kehendak siapa? Tuhan juga. Ketetapan Tuhan itu tidak bisa diubah. Aku kira kamu mengerti, Nel. Ternyata kamu sama saja. Menunggu. Cukup itu pilihanku. Aku, aku menganggap Tuhan menciptakan kita untuk kesenangan diri-Nya sendiri.”
”Apa? Kau pikir kita ini mainan?” Jaspi tercengang. Keningnya berkerut.
”Dinni, kita diciptakan untuk kembali pada-Nya. Kembali menjadi seperti apa yang telah kita upayakan. Tapi, Tuhan akan lebih senang jika kita menjadi apa yang diharapkan-Nya dan Dia membiarkan kita hidup itulah sebagai kesempatan kita untuk berusaha.” Lisda mengatur temponya, ”Sehingga kita mendapatkan nilai di mata-Nya dan janji atau balasan dari-Nya. Seperti boneka yang akan mendapatkan baju baru jika dia tahan lama atau tidak rusak. Analoginya bisa seperti itu jika awalnya kamu benar-benar menganggap kita ini adalah boneka-Nya. Tapi, jelas kita bukan boneka. Tidak senihil itu. Tuhan selalu mendengar kita.”
”Dan agama yang akan menjawab bagaimana kita mengupayakan diri untuk-Nya. Agama memiliki pedoman, dan itu tertulis di dalamnya. Al-Qur’an bagi umat muslim, Injil bagi umat Kristen, dan begitupun dengan agama lainnya,” sambung Jaspi merintih. Tak tahu lagi cara meruntuhkan dinding pertahanan Dinni.
”Kalian salah! Tanpa agama pun Tuhan pasti akan membalas kebaikan kita!” Dinni masih tak tertembus. Dia merengut memegang kepalanya. ”Kita itu berpikir. Jelas, tanpa agamapun, kita tahu mana yang baik dan yang tidak. Heuh, brengsek sekali Dia kalau memang aku harus memeluk agama terlebih dahulu untuk mendapat balasan dari-Nya. Bukankah Tuhan tidak mempersulit kita?”
”Memang tidak. Tapi, baik menurut kita belum tentu baik menurut Tuhan.”
”Cukup. Tuhan. Dia—Dia memang telah mempermainkanku. Orang tuaku dibiarkan mati, aku dibiarkan kesepian, aku dibiarkan keras, aku dibiarkan sedih. Aku dipermainkan. Kenapa Dia membiarkanku hidup? Kenapa Dia membiarkanku bertanya, mencari, dan menyimpulkan, tapi ternyata hasilnya tetap saja ada yang salah? Apa yang diinginkan Tuhan? Tuhan ingin aku seperti apa? Tuhan membutakanku untuk diri-Nya sendiri,” dia terisak, ”Kenapa Tuhan membiarkanku hidup dengan menutup hatiku?” lalu berlari menghambur keluar.
Aku tak menemukan Dinni di tempat biasa. Dua hari dia menghilang, dan aku kehilangan segalanya. Aku menyadari kesadaranku yang semu selama ini. Jaspi menjadi sangat kacau setelah Dinni pergi, dia merasa sangat bersalah. Dia mulai mengata-ngatai dan menyiksa diri, bahkan membentak dan memukul. Juga melakukannya padaku. Sampai satu saat aku melihat Jaspi menangis di pojok dinding kamar kostnya, ia mengatakan bahwa ia menyayangi Dinni. Mencintainya lebih dari apa pun. Aku tak kuasa mengingat dialog apa yang kami utarakan, jeritan tangis yang aku luapkan, amarah, kelabilan, sakit. Terakhir yang ku ingat bahwa ia berkata “Hanya saja ia keras. Aku menyukainya tapi tidak untuk atheisnya. Aku lebih baik berkomitmen dengan kamu yang berbeda agama daripada dengan dia yang tidak sama sekali,” dan aku melihat ketulusan dimatanya, aku membanting pintu dan berlalu.
Setengah jam berikutnya, kamar bercat violet itu mendekapku, memancarkan kehangatan. Lisda membawakanku segelas air putih, aku meneguknya penuh kuasa.
Aku terbangun dari tidurku, merasakan sakit dikepalaku, dan kembali melamunkan Jaspi. Meski aku tahu Dinni itu begitu bersinar, pintar, dan mengagumkan, aku ingin dunia tahu bahwa aku benar memiliki rasa yang agung untuk Jaspi. Setidaknya aku ingin dunia tahu bahwa aku rela membohongi kakak dan ibuku, dengan sabar menjaga emosi Jaspi yang meluap-luap, menuruti apa yang ia hendaki, bahkan memahami setiap hormone yang tubuhnya produksi. Aku tak sedikit pun menyesal atau benci. Aku hanya ingin menjerit menangis kecewa. Aku tak pernah menyesal untuk setiap pagutan yang kami lakukan, jantung yang berdeak tak tahu diri, untuk setiap cengkraman yang ia sentuhkan, untuk setiap deru nafsu yang menggebu mengelilingiku, merayuku tanpa ragu. Hanya saja aku kecewa. Mataku terbuka. Bahwasannya cinta, air mata ini pun tak mampu menjelaskannya.
Aku bangkit dari tempat tidur dan bantal yang basah, masih terisak dan berjalan sempoyongan menuju kamar mandi. “Man fiddakhil?” aku mengetuk pintu.
“Lisda, Nel.”
Aku kembali ke kamar dan menelisuri rak buku di sudut sebrang pintu. Sebuah buku kecil terjatuh dari tempatnya, ku ambil, dan ku baca.
“Mau ke kamar mandi, Nel? Udah kosong tuh.”
“Ini apa Lis? Benar kamu yang menulisnya? Benarkah apa yang kamu bicarakan, apa yang kamu lakukan padaku selama ini, sikapmu pada Jaspi, semuanya bukan semata-mata karena Jaspi itu seorang nasrani? Semua tulisan ini apa maksudnya? Katakan sejujurnya untuk kali ini, apapun itu.”
“Aku bisa jelaskan, Nel.” Lisda bergetar gugup. Aku dapat melihat ketakutan dan keterkejutan dari mata indahnya yang mulai berair. “Ya Nella. Semua yang tertulis disitu benar adanya. Apa yang aku rasakan ini cinta. Rasa yang bergejolak seperti yang kamu rasakan pada Jaspi. Tak terkendali. Aku cemburu saat Jaspi merangkulmu, aku sakit saat kau selalu membanggakannya, buta karenanya, menggilainya. Bukankah aku juga pantas mencinta? Itu merupakan hak setiap orang bukan?” ia memejamkan matanya dalam-dalam dan mengatupkan bibir khas timur tengah warisan ibunya. Air berlinang deras melalui bulu matanya yang rupawan.
“Tapi kenapa harus seperti ini? Hatiku masih terluka dan kamu menyiram luka yang masih basah ini dengan air garam yang membuat kepedihan lebih dalam. Aku bahkan tak bisa meyakini akalku bahwa hal ini bisa terjadi. Aku tak heran dengan apa yang Jaspi lakukan padaku, tapi tidak dengan ini. Seribu lelaki memujamu, menyanjungmu, menginginkanmu dan semua orang tahu itu. Kenapa ini yang kau pilih? Lalu, kau mejelek-jelekan Jaspi, menyadarkanku atas ketidakwarasanku, dan aku pun menyadari kau selalu berusaha menjauhkanku darinya, semua itu hanya karena cinta sintingmu itu?” aku tak mampu menahan amarahku, otakku tak bisa berfungsi dengan baik kala itu. “Jawab Lis!”
“Iya,” ia berteriak, suaranya tercekat. “Aku tahu kau menganggap ini konyol. Tolol. Tapi inilah yang aku rasa. Aku merasakan rasa itu. Cinta.” Penglihatanku memudar tertutup air mata, namun aku masih bisa melihat Lisda tersedu dalam keburamanku, mukanya memerah. Kemudian ia merintih dan sayup-sayup ku dengar ia berkata, ”Rasa ini telah lama ada dan aku bahagia memilikinya. Aku tak dapat mendustai hatiku bahwa aku mencintaimu, Nel.”
*****
Disinilah aku sekarang, di kelas Statistika Dasar. Aku bisa melihat bias-bias wajah dan punggung mereka dari belakang, namun tak dapat menjangkaunya. Dua hari yang lalu Dinni kembali dan tiga hari kita bersua tanpa bertegur sapa. Hari ini hari terakhir perkuliahan semester pertama. Aku tak punya sedikit pun rencana untuk liburanku. Aku merindukan lantunan Al-Qur’an Lisda, kecupan Jaspi, belajar dan curhat pada Dinni, kebersamaan kita. Ku kira memang seperti inilah akhir ceritaku.
*****
“Kamu yakin tak tertarik mengikuti program ini? Kegiatannya nggak kaku
kok. Inspiratif, fleksibel, motivating ,dan komunikatif malah. Mendalami ilmu agama kan nggak rugi. Liburanmu juga masih dua minggu tersisa.”
“Aku sibuk kak. Aku benar-benar sedang tidak selera”
“Seminggu ini kau hanya mengurung diri dan menonton drama Korea seharian. Jangan kira aku tak tahu. Disana kamu juga bisa mendapat banyak teman.”
“Ya, akan aku pertimbangkan.”
“Itu artinya ya bagiku, lekas berkemas. Ayah menunggu kita.”
“Dasar Ikhsan Khairu Rachman. Bapak ustadz otoriter. Diktator,” begitulah kakakku, sekaku dan selurus ibuku. Biarpun kolot dan culun begitu, meskipun ia tak semempesona Jaspi, kakakku itu sedikit tampan dan aku sangat menyayanginya.
“Ayolah Nella Fulla Sinderella, jangan alot begitu. Aku tak suka.”
“Maka berhentilah memanggilku begitu!”
*****
Aku pergi ke daerah Cieunteung mengikuti program pesantren kilat yang diadakan oleh kakakku dan komunitas Islaminya. Sesampainya disana, aku melihat lautan jilbab lalu segera melengkapinya. Ikhsan benar, aku menyukai suasananya.
Hari ke empat aku bermalam disana, saat aku bangun hendak tahajud, aku melihat sosok yang aku rindukan. Bukan, bukan Jaspi dan aku tidak sedang bermimpi. Aku mendengar dengan sangat jelas surat Ar-rahman mengalun lembut. Aku melihat air terjun deras di pipi wanita berbalut mukena itu. Ia bersujud penuh syahdu kian lama. Aku masih tertegup memandangnya, menunggu ia mengangkat wajahnya. Akhirnya ku temui paras itu. Aku memerhatikan lekat-lekat parasnya yang tanpa kaca mata. Tidak salah, Dinni, sahabatku telah menemukan jalannya.
*****
“... aku serius bu. Aku sudah istikharah dan dia juga memberikan tanggapan yang bagus. Aku ingin restu dari ibu. Aku tahu ini terlalu cepat tapi aku mantap untuk mengkhitbahnya. Ini foto dan biodatanya. Dua minggu ini aku sudah cukup mengenalnya dan mengetahui sedikit banyak tentangnya dari teman.”
“Khitbah? Kakakku menyukai seorang wanita? Baru bertemu dua minggu sudah mau menikah? Mana fotonya?” seminggu aku di pesantren dan pulang di akhir pekan. Keluar dari kamar mandi aku mendengar Ikhsan berbicara pada ibu di dapur.
“Bukan, Nel. Bukan menikah. Khitbah itu mengikat. Hanya sebuah proses menuju pernikahan. Tunangan jika kau bilang. Tak perlu berlama-lama kalau sudah merasa cocok. Dia sangat anggun, lembut, paham agama dan baik. Cantik.”
“Ta.. tapi..” apakah wanita itu secantik Lisda? “mana fotonya?”
“Tidak. Biar nanti saja ku kenalkan. Kamu bisa mendekatkan diri dengannya seminggu nanti di pesantren.”
Aku pernah berharap Lisda jadi iparku. Ia cantik, lembut, baik, anggun, paham agama, dan lebih segalanya dari calon kakakku itu aku yakin. Mereka pasti nampak sangat serasi. Tapi aku tahu sesuatu yang kudustai saat ini. Ya Allah..
*****
Aku sangat bahagia sekarang. Lepas dari kehampaan-kehampaan yang kerap datang kemarin. Meskipun Jaspi hanya tersenyum padaku, tapi aku senang kami sudah kembali. Kini aku tak lagi melamun cemberut meratapi kepelikan masalahku. Aku selalu tersenyum mengingat kejadian beberapa hari lalu. Saat Ikhsan memperkenalkan wanita yang ternyata sangat cantik, laksana semburat mentari menyinari hatiku. Wanita bercadar itu memelukku dan berbisik, ”aku menyukai lelaki yang kau sebut kakak itu dengan sangat tulus. Dengan cinta yang amat murni, amat jelita lebih dari yang ku duga,” manja, matanya yang khas memancarkan kehangatan yang dalam. Aku menangis terharu di pundak Lisda yang kini mengerti apa arti cinta.
Aku bahkan selalu tersenyum saat mengingat kita tidur bersama. Lisda bisa bercerita hingga larut bagaimana Ikhsan memikat dan membuat rangkaian listrik merambat dadanya, kita tertawa membicarakan ibu asrama yang latah, Dinni yang sehari semalam mati-matian mendalami Islam, menceritakan bagaimana hebatnya Islam juga Allah menyentuhnya dengan jalan yang tak terkira, lalu kita tertidur berantakan di atas tikar. Semua begitu manis seakan berenangku di kolam gula-gula.
Ikhsan berkata bahwa ia menemukan Dinni di jalan hendak bunuh diri. Dia bercerita panjang lebar perdebatannya dengan Dinni, sampai ia membacakan surat Ar-rahman dan terjemahnya, Dinni meleleh lunak dan jadilah Dinni yang sekarang. Dengan tuntunan teman-temannya di komunitas, ia semakin mantap memeluk Islam.
Hari ini kami berempat kembali bersatu. Dan kini kami bersama Ikhsan tengah makan bersama di rumahku. Kami bercerita ini itu tak menentu. Rasa terima kasih yang tak terkira aku suguhkan untuk Ikhsan dan teman-temannya yang sigap merangkul kami, tanpa pamrih mengarahkan, dengan simpul senyum mengabdikan diri untuk Islam dan umatnya yang haus akan sentuhan, yang mempertemukan Lisda dengan cintanya, yang membuat Dinni tak lekang berkencan dengan malam dan sejadahnya, yang membuatku dekat dan kembali lega. Terima kasih, sungguh. Meski Jaspi masih berpegang teguh dengan keyakinannya, kami tetap menunggu syuhada-syuhada selanjutnya yang akan mengubahnya. Man jadda wa jadda. Fabiayyi alaa i rabbikumaa tukaddzibaan. Dimana mereka? Kami sangat merindukan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar