Berjalan dan berjalan menepis lelah. Menghiraukan kakimu yang bergetar terkulai, terik matahari yang menyemburat. Yang membuat ingusmu tak terkendali. Yang membuat tubuhmu malah menggigil. Bulu tanganmu berdiri murka. Bersin dan batuk menggelora. Aku tahu aku tak baik. Untuk itu aku berjalan. Mencari kebaikan. Rasa nyaman. Tak peduli kalaupun nanti aku terjatuh. Tak peduli. Aku hanya demam. Bukan leukimia.
Sementara lelakimu tak peduli. Yang ia tanyakan memang “dengan siapa? Kemana?”. Tapi dia cukup tenang mendengar kabar kau pergi sendiri. Sendiri. Yang berarti tidak dengan siapapun –tidak dengan lelaki manapun-. Kau pikir aku senang?? Ya, aku senang.
Kaki kecil ini tetap gontai melangkah. Perlahan tapi pasti meski tak tentu arah. Tak tau mau kemana. Hanya ingin berjalan beribu ribu langkah. Berjalan sesuka hati kemana jemari pergi. Berharap menemukan sesuatu yang mampu membuatmu tertawa. Atau bahkan tersenyum. Mencoba meneriaki dunia. Aku bisa. Aku kuat, du-ni-a. Aku terdiam. Aku memendam. Aku menghilang.
Tawa mudi mudi. Heuh. Entah apa yang mereka tertawakan. Diriku? Oh, terima kasih, sungguh. Di mata manapun, aku itu aneh. Oh, wahai hati yang kacau. Suara yang sendu. Mata yang sembab. Tubuh yang layu. Membusuk.
Pohon pohon terbujur kaku. Tapi tak lemah seperti diriku. Mampu meniupkan belaian angin pada pipimu. Desiran lembut di rambutmu yang basah. Cantik.
Oksigen yang membahana. Semoga memberikanmu kedamaian, Dinda. Ketenangan sukma di jiwa. Melupakanmu sejenak akan kesakitanmu. keLEMAHanmu.
Hiruplah. Nikmatilah. Selagi engkau bisa. Biar elegi mengiringmu. Aku menemanimu. Tapak kaki menguatkanmu. Dan burung – burung ikut berkicau untukmu.
Pandanglah. Puaskan untuk semua. Ketakutanmu. Kesedihanmu. Kesepianmu. Kegalauanmu. Air matamu. Udara yang kau hirup. Racun yang kau makan. Sakit hati yang kau telan. Darah yang mengalir. Dada yang sesak. Mulut yang pahit. Tubuh yang terguncang. Paras yang pucat. Rambut – rambut yang jatuh. keLEMAHanmu.
Perlahan. Meski jantungmu berdetak cepat. Ketakutanmu kian mencekat. Hilangkan ketidaktenanganmu, sayang. Ya, berjalanlah.
“Oy? Ada kuliah?”
“Ga”
“Lemes banget. Trus ngapain? Rapat? Telat.”
“Ga”
“Hey hey, pucet banget. Astaga, lo belum sembuh. Ngapain kesini”
“Ga. Ga tau.”
“Lo sama siapa?”
“Sendiri”
“Cowo lo mana? Tumben. Temen temen lo?”
“Ga. Ga tau.”
“Hey, lo gapapa? Trus mau ngapain kesini?
“Gue gapapa biph. Jalan jalan”
“Jangan maksa deh. Pulang sana. Tidur.”
“Ga. Ga mau."
“Kalo gitu gue temenin.”
Andai lelakimu yang berkata “Mau jalan kemana? Sama siapa? Aku boleh bolos tapi kamu ga boleh jalan sendiri. Kamu sakit, sayang”. Dan kamu akan menemukannya. Senyum itu. Ketenangan. Tak perlu berjalan beribu langkah untuk mencarinya. Hanya sebuah senyuman. Sepasang tangan. Sebuah rangkulan. Pelukan. Kehangatan. Itulah yang aku butuhkan. Dada yang tegap yang menopangmu tertidur. Tangan yang lembut yang mengusapkan air mata yang mengalir di pelipis. Jemari yang lincah yang membelai rambutmu. Kehangatan. Hangat dari dalam. Bahkan tidak saat kau bandingkan dengan selimut tebal manapun yang kau kenakan.
Tapi matamu hanya bisa terkatup lemah. Berkedip penuh perih. Sambaran kilat mengurut dada begitu nyata. Jangan menangis, Dinda.
“Ga. Ga usah.”
“Adu ribet deh lo. Ayo jalan. Mau kemana?”
“Siapapun boleh mengawasiku. Tapi tidak menemaniku.”
“O,oke. Jadi lo diawasin? Cowo lo? Serem juga.”
“Ga. Ga tau.”
“Temen lo?”
“Ga. Ga tau.”
“Hmm, gue tau tempat makan yang seru. Gue traktir lah.”
“Ga. Ga mau.”
“Ah, gue anter hunting magnum gimana? Ke Cipaganti ada. Gue tau. Ayo!”
“Ga. Ga mau.”
“Terus mau jalan gini aja? Emang ga cape?”
“Gue ga minta lo temenin”
“Tuh, lo serak. Lo kedinginan Dini. Ga peduli ini panas banget. Lo sakit. Gila, badan lo panas. Lo demam. Mending pulang yu. Gue anter.”
“Ga mau. Berisik.”
“Aduh, jangan susah gini dong. Oke sorry sorry gue ga berisik. Suka suka lo lah.”
“Pergi!”
“Ga. Ga mau.”
“Pergi!”
“Gue ga mau.”
“Lo tau, gue ga bisa dorong lo. Tapi gue pengen lo pergi. Pergi!”
“Aduh, gue janji ga berisik.”
“Pergi Biph!”
“Din, please!”
“Ga. Ga mau. Gue mau sendirian, ngerti?”
“Hufh, oke. Tapi gue awasin lo dari jauh. Inget. Gue awasin lo dari jauh. Gue ada”
Maka kembalilah berjalan mancari kenyamanan. Karena kau sekarang tahu kau aman. Untuk terimakasihmu. Untuk rasa sakitmu. Untuk kebencianmu. Dan untuk setiap langkah yang kau jejakkan. Untuk setiap tatapan yang kau riskankan. Untuk emosimu yang tak tertahankan. Untuk elegimu yang tak terhentikan. Untuk kalabilanmu. Untuk keLEMAHanmu.
Teruslah berjalan tanpa lihat depan belakang. Kau tak harus punya tujuan. Yang kau harus punya hanyalah keyakinan untuk tetap berjalan. Untuk tetap bertahan. Tak perlu kau memunduk malu. Tak perlu pula kau mendongak menantang. Cukup hadapi. Dan jalani. Tak perlu coba kau lupa. Bahkan tidak untuk kau rasa. Jalani. Kendatipun dengan kekosongan. Sebab kau tahu apa yang kau inginkan. Bukan depan atau belakang. Atas atau bawah. Lupa atau rasa. Kau akan menemukannya disini sayang. Saat kau berjalan.
Berjalanlah sekalipun kau tahu kau lemah. Melangkahlah kendatipun kau rasa kau lelah. Berjalanlah. Terus begitu karena aku disisimu. Karena kau lemah. Karena keLEMAHanmu. Karena kita LEMAH. Dan karena kau adalah aku…….
Tidak ada komentar:
Posting Komentar